Oleh: HR. Muhammad Hamdi, M. Pd
SETIAP tanggal 22 Oktober, ucapan Selamat Hari Santri Nasional bergema di berbagai penjuru negeri. Momen ini menjadi pengingat sejarah besar bangsa. Penetapan Hari Santri Nasional oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, merupakan bentuk penghormatan terhadap peran penting para santri dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hari Santri juga menjadi saat untuk merenungkan kembali semangat jihad para santri dan ulama, terutama ketika para kiai Nahdlatul Ulama berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Dari peristiwa itu lahirlah Resolusi Jihad Fii Sabilillah ,"seruan suci bahwa melawan penjajah adalah fardhu ain, kewajiban individu bagi setiap muslim di tanah air yang terjajah.
Peringatan Hari Santri tahun ini diwarnai berbagai perbincangan publik, terutama terkait tayangan salah satu stasiun televisi yang menampilkan budaya pesantren. Momentum ini sejatinya menjadi ruang refleksi bersama: saat yang tepat bagi kita untuk menatap pesantren sebagai lembaga yang terus bergerak menyesuaikan zaman, tanpa kehilangan akar nilai yang telah diwariskan para ulama.
Sebagaimana pesan luhur Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: “Al-muhâfazhatu ‘alâ al-qadîmis shâlih wal akhdzu bil jadîdil ashlah” menjaga nilai lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik. Kalimat itu bukan hanya nasihat, melainkan pedoman hidup bagi pesantren dalam menjaga keseimbangan antara warisan dan pembaruan.
Budaya pesantren yang menekankan adab, ketawadhuan, dan ta’lîm al-muta’allim harus terus dijaga. Nilai-nilai inilah yang menjadi pondasi moral bagi para santri. Namun, di sisi lain, pesantren juga perlu berani beradaptasi dengan tuntutan zaman. Santri masa kini dituntut tidak hanya unggul dalam spiritualitas, tetapi juga tangguh dalam ilmu pengetahuan, sosial, dan kebangsaan.
Sungguh ironis bila masih ada pihak yang menilai pesantren secara dangkal, hanya dari pandangan luar tanpa memahami sejarah dan kontribusinya bagi bangsa. Pesantren bukan tempat keterbelakangan, melainkan benteng peradaban yang telah melahirkan ulama, cendekiawan, dan pemimpin bangsa.
Lahirnya Hari Santri membawa pengaruh sosial dan budaya yang besar, terutama bagi kalangan nahdliyyin. Ini adalah momentum pembentukan karakter santri Indonesia untuk meneguhkan jati diri, memperkuat semangat kebangsaan, dan menjadi agen perubahan yang menebar manfaat di tengah masyarakat.
Perayaan Hari Santri seharusnya tidak berhenti pada panggung seremoni. Ia harus menjadi gerakan moral dan intelektual. Generasi muda perlu memahami sejarah pesantren, perjuangan ulama, serta nilai jihad kebangsaan yang mereka wariskan. Hanya dengan kesadaran itu, persatuan dan kesatuan bangsa dapat tumbuh dalam ruh spiritual yang kokoh.
Akhirnya, Hari Santri hendaknya menjadi momentum bagi transformasi nilai pesantren — dari ruang-ruang ngaji menuju ruang pengabdian yang lebih luas. Santri harus hadir di tengah masyarakat sebagai pelita, penebar manfaat, dan pembawa cahaya perubahan. Jihad santri hari ini tidak lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat martabat bangsa melalui ilmu, akhlak, dan pengabdian.
Serambi Pesantren
Di serambi pesantren, fajar selalu lahir dengan zikir. Suara lantunan sholawat menjadi denyut nadi yang menghidupkan pagi-pagi Nusantara. Dari bilik-bilik sederhana itu, tumbuh jiwa-jiwa yang ditempa bukan oleh kemewahan, melainkan oleh kesabaran, keikhlasan, dan cinta ilmu.
Santri adalah lentera kecil yang menyalakan api besar peradaban. Mereka menulis sejarah dengan doa yang menembus langit, dan mengajarkan bahwa cinta kepada tanah air adalah bagian dari iman. Dalam kesunyian malam, mereka belajar tentang makna perjuangan: bahwa membela bangsa berarti mencintai kehidupan yang diberkahi Tuhan.
Hari Santri adalah hari untuk menyalakan kembali obor kesetiaan kepada Indonesia. Di dada setiap santri, selalu ada api kecil yang tak pernah padam — api cinta kepada ilmu, agama, dan negeri. Dan selama api itu menyala, Indonesia tak akan pernah kehilangan cahaya.
(Penulis adalah intelektual muda PW. Ansor Jawa Timur)

Tidak ada komentar: