Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi
Pemuda adalah harapan bangsa, tapi apa jadinya jika gambaran yang ada saat ini justru tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih bisa diandalkan, yang ada justru mengecewakan. Mereka tidak lagi menjadi agen perubahan, tapi menjadi contoh buruk dalam menyalurkan aspirasi.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, sekitar 959 dinyatakan sebagai tersangka pasca terjadinya kerusuhan saat demonstrasi 25-31 Agustus lalu. Di mana 664 diantaranya terdiri orang dewasa dan 295 lainnya masih terkategori anak. Hal ini diungkapkan Komjen Syahardiantono selaku Kepala Badan Reserse Polri, dalam sebuah konferensi pers di gedung Bareskrim. (www.tempo.com, 24 September 2025)
Lebih lanjut Kabareskrim menyatakan bahwa para tersangka adalah pelaku kerusuhan bukan peserta demonstrasi. Mereka ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah menghasut untuk berbuat kerusuhan, menyebarkan dokumentasi lewat sosial media, dan melakukan penghasutan untuk membakar, membuat, menyimpan dan menggunakan bom molotov ketika terjadi rusuh dan tindak penjarahan.
Aksi masa ini terjadi pada hari Kamis, 28 agustus 2025, berawal dari demo buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI. Mereka mengkritik tunjangan para anggota dewan yang dinilai fantastis. Awalnya semua berjalan lancar dan tertib, namun menjelang sore kericuhan pun mulai terjadi. Amukan massa tidak bisa dihindari ketika diketahui ada pengemudi ojek online yang ditabrak kendaraan Brimob Polda Metro Jaya, kemarahan pun tidak terkendali ketika korban berinisial A itu pun tewas yang mengakibatkan penyerangan Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Selatan.
Terkait didapatinya 295 pelaku yang masih terkategori anak, Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono menyebut bahwa penetapan tersangka tidak memenuhi standar perlakuan sesuai UUD anak. Ada yang diperlakukan tidak manusiawi, diancam bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Sayangnya, Dinas Pendidikan tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegah hal itu. Aris pun berharap proses penyidikan bisa dilakukan secara transparan.
Menko Yusril pun meminta agar proses penyidikan dipercepat, transparan dan investigasinya dilakukan oleh berbagai pihak. Karena pihak KPAI mengaku menerima aduan bahwa anak-anak itu hanya ikut-ikutan dan dipengaruhi temannya juga media sosial.
Di balik kerusuhan yang terjadi, ada hal penting yang mungkin luput dari perhatian, yaitu sikap kritis para Gen Z dalam mengakses informasi dan menyuarakan keinginan. Mereka tengah berusaha menyampaikan aspirasi dan menggerakkan perubahan melalui teknologi digital dan media sosial. Berbagai ketidakadilan yang nampak jelas, gaya hidup dan fasilitas yang diberikan kepada para pejabat, turut mengusik kesadaran generasi muda saat ini.
Gen Z yang mulai tertarik mengonsumsi berita politik, ekonomi, termasuk berbagai kebijakan dan kemaslahatan rakyat, seharusnya menjadi poin plus yang harus dibanggakan. Sayangnya, hal ini justru diwaspadai karena tidak ingin generasi muda saat ini bangkit melalui kesadaran berpikirnya.
Maka dibuatlah narasi bahwa para pemuda cenderung anarkis dan suka berbuat kerusuhan. Terjadinya demo di gedung DPR, penjarahan, vandalisme dan kerusuhan yang terjadi, seketika diliput media, padahal disamping itu terdapat juga aksi damai namun luput dari perhatian. Kesadaran Gen Z yang menuntut perubahan pun tenggelam begitu saja tanpa dianggap sebagai sesuatu yang berarti.
Ekspresi politik generasi ini justru diberi stigma negatif agar dipandang buruk di hadapan publik. Masyarakat beranggapan ketika anak muda menyuarakan pendapatnya selalu berujung rusuh dan anarkis. Opini pun lebih tergiring ke arah sana, sehingga lupa akan tuntutan rakyat.
Ditetapkannya 295 anak sebagai tersangka secara tidak langsung membungkam mereka untuk berani bersuara. Ancaman hukuman yang membayangi, nantinya akan kembali membuat mereka diam dan tidak lagi berpendapat. Padahal, seharusnya pemerintah merangkul mereka dan mendidiknya dengan pemahaman yang benar. Upaya pembungkaman seolah menunjukkan adanya ketakutan munculnya generasi kritis yang berani melawan kezaliman.
Sejatinya, Gen Z berpeluang menjadi agen perubahan, namun potensi itu dikerdilkan agar tidak menjadi ancaman bagi eksistensi kapitalisme. Sistem ini hanya memberi ruang bersuara bagi siapapun yang sejalan dengan penguasa. Sementara yang berseberangan akan dibatasi, dijegal bahkan dikriminalisasi. Demokrasi yang diagungkan ideologi ini menjadikan kebebasan berpendapat sebagai salah satu pilarnya. Tapi pada praktiknya tetap saja disesuaikan dengan kepentingan yang ingin dicapai, dan menggugat penguasa menjadi sesuatu yang tidak diperbolehkan.
Demokrasi yang konon menghargai perbedaan, nyatanya mampu membungkam pandangan yang menyalahinya. Katanya bebas berekspresi, tapi urung terealisasi demi tercapainya legitimasi. Sistem yang berlandaskan sekulerisme ini menjadikan akal manusia yang lemah dan terbatas sebagai tolok ukur perbuatan.
Berbeda dengan kapitalis, Islam memandang pemuda sebagai penggerak perubahan, tonggak dan mercusuar peradaban. Karena mereka identik dengan idealisme yang tinggi, fisik yang kuat dan sikap yang berani. Semua itu menjadi modal dan potensi yang harus diarahkan secara benar. Jangan mematahkannya dengan kriminalisasi, justru harus dibangkitkan kesadaran politiknya melalui paradigma Islam.
Islam juga telah menetapkan dakwah, saling mengingatkan dalam kebenaran dan mencegah dari hal mungkar. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
Salah satu bagian dari amar makruf nahi munkar adalah aktivitas mengoreksi penguasa. Kritik itu harus disampaikan agar amanah kepemimpinannya senantiasa berada pada jalur yang benar. Jadi membungkam agar tidak menyampaikan kritikan tentu bukan perbuatan yang dibenarkan. Peran pemuda harus diarahkan agar sesuai dengan visi perubahan Islam.
Oleh karenanya, negara harus melakukan pembinaan kepada generasi muda melalui pendidikan berbasis akidah. Sebagaimana yang Rasulullah saw. contohkan yaitu melalui proses pembinaan para sahabat yang saat itu didominasi oleh para pemuda. Membekali mereka dengan keimanan dan ketakwaan sehingga menjadi generasi emas yang tangguh.
Untuk bisa membangun kesadaran politik generasi muda, maka harus diawali dengan mengubah pemikiran yang nantinya akan melahirkan pemahaman yang utuh tentang Islam. Pemahaman inilah yang akan menggerakkan para pemuda untuk mengerahkan seluruh energi dan potensinya ke arah perubahan dengan mewujudkan sebuah kepemimpinan yang akan menerapkan syariat Allah secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan.
Wallahu alam bisawwab

Tidak ada komentar: