Oleh: Mas Hery
Di tengah derasnya arus informasi global, politik kita sedang berada di persimpangan: apakah menjadi panggung para demagog atau arena pendidikan publik yang pedagogis. _Fenomena post-truth_ 'zaman ketika emosi lebih dipercaya daripada fakta, opini lebih laris manis daripada data membuat persimpangan ini semakin nyata .
Hannah Arendt, filsuf politik Jerman-Amerika, pernah memperingatkan bahwa politik yang kehilangan kebenaran akan mudah jatuh dalam totalitarianisme. Bagi Arendt, kebohongan politik bukanlah hal baru, tetapi ketika kebohongan menjadi norma, masyarakat kehilangan orientasi moral. Demagog hidup dari situasi ini. Ia tidak butuh fakta, cukup narasi yang berulang untuk menggiring emosi massa. Dalam istilah Arendt, “kebohongan dapat bertahan, bukan karena diyakini, tetapi karena terus diulang.”
Di era post-truth, kita melihat hal itu di depan mata. Kontestasi elektoral di Indonesia sering kali dibanjiri hoaks, fitnah, dan politik identitas. Isu agama dan etnis dipakai sebagai alat mobilisasi, sementara media sosial menjelma ruang gema (echo chamber) yang memperkuat bias, bukan menumbuhkan dialog. Rakyat yang letih oleh kesenjangan sosial sering kali lebih mudah terpikat janji manis demagog ketimbang argumen rasional.
Namun, filsuf Jürgen Habermas memberi harapan lain. Habermas menekankan pentingnya ruang publik (public sphere) sebagai arena diskursus rasional, di mana warga berdialog dengan argumentasi, bukan hanya emosi. Politik yang sehat, menurut Habermas, hanya mungkin terjaga bila publik dilatih dalam budaya deliberatif mendengarkan, mengkritisi, dan mencari kesepahaman berdasarkan rasio. Inilah wajah pedagogik dalam politik: menjadikan politik sebagai ruang pendidikan publik.
Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sejalan dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Cak Nur berulang kali menegaskan bahwa demokrasi sejati bukan sekedar prosedur elektoral, melainkan pendidikan politik bagi rakyat.
Baginya, politik harus berakar pada kejujuran, rasionalitas, dan keterbukaan, sebab tanpa itu rakyat hanya akan jadi korban manipulasi elite. Demokrasi, kata Cak Nur, adalah “jalan panjang menuju masyarakat madani” suatu masyarakat yang berdaulat karena cerdas, bukan karena terbuai janji.
Di sinilah kita menemukan pertarungan antara demagog dan pedagogik. Demagog memanfaatkan _post-truth_ untuk memperkuat cengkeramannya; pedagogik berusaha melawan arus dengan menyalakan nalar kritis rakyat. Pertanyaannya: apakah bangsa ini akan menyerahkan masa depannya pada demagogi yang penuh ilusi, atau pada pedagogi politik yang membangun kesadaran?
Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh pilihan ini. Jika politik dibiarkan menjadi panggung demagog, demokrasi akan menjelma pesta ilusi yang penuh kekecewaan.
Tetapi bila pedagogik dijadikan dasar, politik bisa kembali pada tujuan sejatinya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti diingatkan Arendt, kebenaran harus terus dibela agar kebebasan tetap terjaga. Sebagaimana ditegaskan Habermas, ruang publik harus dipertahankan sebagai arena dialog rasional. Dan sebagaimana diyakini Cak Nur, demokrasi hanya akan matang bila rakyat belajar dengan jujur, terbuka, dan rasional.
Era post-truth adalah ujian kita bersama. Ujian bagi elite, apakah mereka memilih jalan singkat demagogi, atau jalan berat pedagogi. Ujian bagi rakyat, apakah kita mudah terperangkap ilusi, atau berani menjadi warga negara yang kritis. Dari pilihan inilah, masa depan bangsa akan ditentukan: Cuman sekedar jadi korban janji, atau menjadi bangsa yang berdaulat atas kesadaran nurani ( Common Sense).
Catatan Kaki
_1. Hannah Arendt, Truth and Politics, dalam Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961)_.
_2. Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989)_
_3. Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987)_
_Penulis Wartawan KabarGress.com_

Tidak ada komentar: